BAB I
PENDAHULUAN
Al-Ahwal Al-Syakhsiyah atau hukum keluarga adalah hukum
yang telah dilaksanakan di dunia islam, bahkan telah menjadi hukum adat mereka.
Sehingga kesadaran untuk menerapkan hukum keluarga di dunia islam sangatlah
tinggi, bukan saja dinegara-negara islam atau negara-negara yang mayoritas
penduduknya beragama islam, tetapi di negara-negara sekuler di mana kaum
muslimin menjadi penduduk yang minoritas pun, hukum keluarga islam ini
diterapkan dan ditaati oleh keluarga-keluarga muslim, seperti di Birma,
Singapura, dan Filipina Selatan (Mindanau).[1]
Pentaqninnan dibidang hukum keluarga ini merupakan contoh
dimana pengaruh hukum barat terhadap materi hukum islam relatif kecil bahkan
tidak ada, dan merupakan benteng terakhir didalam mempertahankan diri terhadap
pengaruh hukum barat yang diterapkan pemerintah kolonial di dunia islam yang
merupakan daerah jajahannya. Di sisi lain hukum bidang keluarga ini diperkenalkan
oleh para ulama kepada masyarakat melalui dakwahnya dan sekaligus memberikan
contoh pelaksanaannya didalam kehidupan sehari-hari. Meningkatkan kesadaran
hukum masyarakat menjadikan hukum islam dibidang hukum keluarga ini menjadi
hukum adatnya, karena para da’i dan contoh kehidupan serta lembaga-lembaga
pendidikan merujuk kepada mazhab tertentu, maka wajar apabila dibanyak negara
warna mazhab masih tampak didalam undang-undang hukum perkawinannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. POKOK KAJIAN BIDANG AL-AHWAL AL-SYAKHSIYAH
Banyak kaidah fikih yang ruang lingkup dan cakupannya
lebih sempit dan isi kandungannya lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya
berlaku dalam cabang-cabang fikih tertentu, dan disebut Al-Qowa’id
Al-Fiqhiyah Al-Khashshahatau juga disebut Al-Dhabitholeh sebagian
ulama.[2]
Kemudian dalam pembidangannya pun berbeda, ada yang membidangkan kepada empat
bidang saja, yaitu bidang ibadah, bidang jual beli, bidang pengakuan, dan
bidang munakahat. Tetapi ada juga yang membaginya kepada: bidang ibadah mahdah,
bidang al-ahwal al-syakhsiyah, bidang muamalah, bidang jinayah, dan
bidang al-aqdiyah.
Pembidangan ini pun bisa dikembangkan lagi sesuai dengan
perkembangan ilmu hukum islam dan sesuai dengan perkembangan kebutuhan
masyarakat itu sendiri. Kaidah yang khusus di bidang al-ahwal al-syakhshiyah
(hukum keluarga) menjadi penting karena perhatian sumber hukum islam yaitu
Al-Qur’an dan Al-Hadits kepada masalah-masalah keluarga sangat besar. Hal ini
terbukti jumlah ayat yang berhubungan dengan hukum keluarga menempati urutan
kedua setelah ibadah mahdhah. Artinya, Al-Qur’an dan Al-Hadits setelah memberi
tuntunan yang cukup untuk pembinaan pribadi muslim dengan ajaran ibadah
mahdhah, kemudian beralih kepada pembinaan kehidupan keluarga muslim yang
menjadi unsur terkecil daam pembinaan masyarakat dan komunitas muslim.Dalam
hukum islam, hukum ini meliputi: pernikahan, waris, wasiat, wakaf dzurri (keluarga).Adapun
pengertian dari masing-masing sub bahasan adalah sebagai berikut:
a. Pernikahan adalah akad yang menghalalkan
pergaulan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menetapkan
hak-hak dan kewajiban diantara keduanya
b. Mawaris mengandung pengertian tentang hak dan
kewajiban ahli waris terhadap harta warisan, menentukan siapa saja yang berhak
menerima warisan, bagaimana cara pembagiannya masing-masing. Fikih mawaris
disebut juga ilmu faraidh, karena berbicara bagian-bagian tertentu yang menjadi
hak ahli waris.
c. Wasiat adalah pesan seseorang terhadap
sebagian hartanya yang diberikan kepada orang lain atau lembaga tertentu,
sedangkan pelaksanaannya ditangguhkan setelah ia meninggal dunia.
d. Wakaf adalah penyisihan sebagaian harta benda
yang kekal zatnya dan mungkin diambil manfaatnya untuk maksud kebaikan. Dalam
kitab fikih dikenal adanya wakaf dzurri yaitu wakaf untuk keluarga, dan
wakaf khairi yaitu wakaf untuk kepentingan umum.[3]
B. KAIDAH-KAIDAH YANG KHUSUS DIBIDANG AL-AHWAL
AL-SYAKHSIYAH
Adapun Kaidah-kaidah yang khusus dibidang al-ahwal
al-syakhsiyahadalah:
1.
الأَصْلُ في الإَبْضَاعِ
التّحْريمُ
“hukum asal pada masalah seks adalah haram”
Maksud kaidah ini adalah dalam hubungan seks, pada
asalnya haram sampai datang sebab-sebab yang jelas dan tanpa meragukan lagi
yang menghalalkannya, yaitu dengan adanya akad pernikahan.[4]
Apabila seorang laki-laki diberi tahu bahwa dia
sepersusuan dengan keluarga B, maka dia tidak boleh nikah dengan yang
sepersusuan dari keluarga B, kecuali ada bukti yang meyakinkan bahwa dia tidak
sepersusuan dengan keluarga B lagi.
2.
لاَحَقَّ للزَّوْجَ عَلَى
زَوجَتِهِ إلاّ فِي حُدوْدِ يَمْسِى للزّوَاجِ وَلاَ حَقّ للزّوْجَةِ عَلَى
زَوْجِهَا إلاّ فِي حُدُوْدِ أَوَامِرِ الشّرعِ فِيْمَا يَمْسِى الزّوَاجِ
“tidak ada hak bagi suami
terhadap istrinya kecuali dalam batas-batas pernikahan dan tidak adahak bagi
istri terhadap suaminya kecuali dalam batas-batas syariah yang berhubungan
denganpernikahan”
Kaidah diatas menggambarkan kedudukan yang
seimbang antara suami dan istri yang sama sebagai subjek hukum yang penuh.
Apabila suami memberikan sesuatu sebagai hibah kepada istrinya atau istri
memberikan sesuatu kepada suaminya, maka seorang pun tidak bisa mencampurinya.
Masing-masing pihak, suami atau istri tidak boleh menarik kembali hibahnya
setelah penyerahan atau ijab kabul terjadi.
3.
كُلّ امْرَأتَيْنِ
لَوْقُدِّرَتْ إحْدَا هُمَا ذَكَرًا وَحُرِّمَتْ عَلَيهِ الأُخْرَى فَلاَ يَجُوزُ
الجَمْعُ بَيْنَهُمَا
“setiap dua orang wanita apabia salah satunya
ditakdirkan (dianggap) sebagai laki-laki dandiharamkan untuk nikah diantara
keduanya, maka kedua wanita haram dimadu”
Contohnya, haram memadu seorang wanita dengan
bibinya, karena apabila bibi itu kita anggap laki-laki, maka haram dia menikahi
keponakannya. Demikian pula memadu seorang wanita dengan anak perempuan saudara
wanita tersebut. Haram pula memadu seorang wanita dengan perempuan dari
anaknya. Haram memadu seorang perempuan dengan saudaranya, karena apabila salah
seorangnya dianggap laki-laki, dia diharamkan nikah dengan saudaranya.
4.
النِّكَاحُ لاَ يُفْسِدُ
بِفَسَادِ الصدَاقِ
“akad nikah tidak rusak dengan rusaknya mahar”
Dalamkitabfathul mu’in dijelaskan bahwa:
(ولو أنكحَ)الوليّ (صَغيْرَةً) أوْ مَجْنوْنة
(أوْرَشِيْدَةً بِكرًا بِلَا إذْنٍ بدوْن مهْرٍ مِثلٍ أو عيّنَتْ لهُ قدْرًا فنقَصَ عنه) أوْ أطْلقتِ الْاِذن ولمْ تتعرّضْ
لمهرٍ فنقصَ عن مهرٍ مثْلٍ (صحّ) النّكاحُ على الْاَصحِّ (بمهرِ مثلٍ) لفساد
الْامسمّى
Apabila seorang wali menikahkan anak perwaliannya dengan
mahar dibawah mahar mitsil, atau anak perwaliannya menentukan besar jumlah
mahar tetapi saat ia dinikahkan, tidak sesuai dengan jumlah mahar yang telah
ditentukan atau dibawah mahar mitsil, atau anak perwaliannya tadi telah
memberikan izin tetapi tidak menyatakan besarnya mahar lalu ia dinikahkan
dengan mahar dibawah mahar mitsil, maka menurut pendapat yang lebih sahih
adalah sah nikah dengan mahar mitsil, karena mahar-mahar yang disebutkan wali
tadi menjadi fasid.[5]
Contohnya, apabila seseorang mewakilkan dalam akad nikah
dengan menyebut maharnya kemudian si wakil menambah mahar tadi, misalnya dari
10 gram emas menjadi 15 gram emas, maka nikahnya tetap sah dan kepada wanita
tadi diberikan mahar mitsil.
5.
كُلّ عُضْوٍ حَرّمَ
النّظْرَ إلَيْهِ حرّمَ مَسّهُ بِطَرِيْقً أَوْلَى
“setiap anggota tubuh
yang haram dilihat, maka lebih-lebih haram pula dirabanya”
6.
لاَيُجَوِّزُ مُسْلِمُ
كَافِرَةً
“wali yang muslim tidak boleh menikahkan
wanita yang kafir”
Contohnya, seorang ayah yang muslim memiliki anak yang
beragama kafir, maka ia tidak boleh atau tidak sah menjadi ali anaknya yang
kafir tadi. Wanita yang kafir tidak memiliki wali nasab.
Dalam hukum keluarga terdapat banyak dhabith selain
kaidah, karena hanya berlaku dalam bab-bab tertentu, misalnya dalam hal talak,
ada dhabith:
7.
مَنْ علَقَ الطَلَاقَ بصفةِ
لمْ يَقَع دُ وْنَ وجُوْدهَا
“barang siapa yang
menggantungkan talak kepada suatu sifat, maka talak tidak jatuh
tanpaterwujudnya sifat tadi”
Di Indonesia sudahumummenggantungkantalakkepadasesuatuhal,
yaitu yang disebutdengan ta’liq talak. Talak menjadi jatuh apabila ta’liq talaknya terwujud dengan
syarat si istri tidak rela dan mengajukan gugatan ke pengadilan.
Pengarang Syarh Al-Thahrir, merumuskan
kaidah tersebut dengan:
مَنْ عَلّقَ طَلَاقًا
بِصفَةٍ وَقَعَ بِوجُودِهَا
“Barang siapa
menggantungkan talak dengan satu sifat, maka talak jatuh dengan wujudnya
sifattersebut”
8.
كُلّ فِرقَةٍ مِنْ طَلَاقٍ
أوْ فَسْخٍ بَعْدَ الوَطءِ توْجَبُ العِدّةُ
“setiap perceraian kerena talak atau fasakh sesudah campur, maka wajib iddah”
Dalam kitab fathul Mu’in dijelaskan bahwa:
و شرعَ دفعًا لِضرَرِ الْمرأةِ
Fasakhnikah (membatalkannikah) disyariatkanuntukmelindungiistri
agar tidaktertimpamudarat.
يجوز (لزوجةٍ مكلّفةٍ) أي بالغةٍ عاقِلةٍ لالوليّ غيْرِ مكلّفةٍ
(فسْخُ نِكاحٍ مَنْ) أيّ زوْجٍ (أعسر) مالًا وكسبًا لَائقًا به حلَالَا (بئاقلِّ
نفقةٍ) تجبُ, وهومدّ (أو) أقلّ (كِسوَةٍ) تجب كقمِيصٍ وخِمارٍ وجُبّةٍ شِتاءٍ,
بخلَافِ نحوِسراوِيْلَ ونَعْلٍ وفرْشٍ ومِخَدّةٍ والأَوانى لعَدَمِ بقَاءِ النّفْسِ
بدو نهِمَا
Seorang istri yang telah mukallaf, yakni telah berusia
baligh lagi berakal, bukan bagi wali istri yang belum mukallaf, diperbolehkan
memfasakh nikah dari suaminya yang mengalami kesulitan harta dan pekerjaan
halal yang layak baginya.
Dikatakan demikian karena suami tidak mampu memberikan
nafkah yang minimal, yaitu satu mud makanan pokok, atau tidak mampu memberikan
batas minimal sandang yang diwajibkan. Umpamanya si suami tidak mampu
memberinya baju gamis, kain kerudung, dan mantel untuk musim dingin. Lain
halnya dengan tidak mampu memberikan semacam celana, sandal, kasur dan bantal
serta wadah-wadah, karena termasuk kebutuhan sekunder. Sedangkan kedua hal
pertama-yakni makanan pokok dan sandang yang pokok-adalah kebutuhan yang
primer.[6]
وهو لغةً حَلّ القيْدِ وشَرعًا حلّ عقْدِ
النّكَاحَ باللّفظِ الْآتى
Sedangkan talak menurut bahasa artinya
“melepaskan ikatan”,sedangkan menurut istilah syara’ artinya “melepaskan ikatan
nikah dengan lafad yang akan disebut kemudian”.[7]
Sama seperti perceraian, ketika fasakh nikah
sesudah campur maka wanita tersebut wajib beriddah. Sudah tentu waktu
menunggunya bermacam-macam menurut perbedaan keadaan istri yang diceraikan atau
yang ditinggal mati suaminya. Secara garis besar iddah itu ada lima macam yakni:[8]
a. Iddah istri yang dicerai dania masih suka haid
lamanya tiga kali suci.
Allah swt berfirman:
والمُطَلّقت يَترَبّصن بئانفسهِنّ ثلثة قرُوءٍ
Artinya: “wanita-wanita yang telahdicerai, hendaklahmenahandiri
(menunggu) tiga kali quru”(al-baqarah: 228).
b. Iddah yang dicerai dan ia sudah tidak haid
lama iddahnya adalah tiga bulan.
والّئِ يَئِسْنَ منَ المَحِيْضِ منْ نّسائِكُمْ
إنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدّتُهُنّ ثلثة أشْهُرٍ والّئِ لمْ يحضْنَ
Artinya: “perempuan-perempuan yangsudah
berhenti haid jika kamu ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah
tiga bulan. Begitu pula perempuan-perempuan yang belum haid” (at-thalaq: 4)
Perempuan yang tidak haid ini ada tiga macam
yaitu anak kecil yang belum sampai umur, prempuan dewasa tapi memang tidak
mempunyai darah haid karena suatu kelainan dan perempuan yang sudah tua, sudah
berhenti haid yang dalam istilah kedokteran disebut manopouse.
c. Iddah istri yang ditinggal wafat suami. Lama
iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari bila ia tidak hamil.
والذين يُتوفّوْنَ منكم ويذروْنَ أزْوجًا يتربّصْنَ بئانفسهنّ أرْبعة
أشهُرٍ وعشرًا
Artinya: “orang-orang yang meninggal dunia
diantaramu dan meninggalkan istri-istri hendaknya para istri itu menunggu empat
bulan sepuluh hari” (al-baqarah: 234)
d. Iddah istri yang dicerai dalam keadaan hamil
lamanya sampai melahirkan kandungannya
وأُلتُ الأحْملِ أجلُهُنّ أنْ يضعْن حمْلهنّ
Artinya: “perempuan-perempuan yang dicerai
dalamkeadaan hamil wakti iddah mereka sampai mereka melahirkan” (at-thalaq:
40
e. Iddah istri yang ditinggal mati suaminya dalam
keadaan hamil
Menurut sebagian besar ulama iddah istri yang
ditinggal mati suaminya dan ia dalam keadaan hamil adalah iddah hamil yaitu
sampai melahirkan walaupun kurang dari empat bulan.
9.
كُلّ مَنْ عَدْ لَى إلَى الهَالَكَ
بوَسِطَةٍ فلَا يَرِث بوجوْدِهَا
“setiap orang yang
dihubungkan kepada yang meninggal melalui perantaraan, maka dia tidakmewarisi
selama perantara itu ada”
Contohnya antara kakek dan bapak. Kakek tidak
dapat waris selama bapak orang yang meninggal masih ada, karena kakek dihubungkan
dengan orang yang meninggal melalui bapak. Demikian pula anak laki-laki dengan
cucu laki-laki. Cucu laki-laki tidak menjadi ahli waris selama ada anak
laki-laki dari orang yang meninggal, karena cucu laki-laki dihubungkan dengan
orang yang meninggal melalui anak laki-laki.
10.
كُلّ منْ ورثَ شيْئا
وَرَثهُ بِحُقوْقِهِ
“setiap orang yang mewarisi sesuatu, maka dia mewarisi pula hak-haknya (yang
bersifat harta)”
Contohnya, hak khiyar terhadap barang, karena
hak khiyar tetap ada dalam jual beli. Demikian pula hak terhadap utang atau
gadai atau juga hak cipta yang diwariskan. Kedudukan ahli waris dalam hal ini
menduduki kedudukan orang yang meninggal.
11.
أنّ الأقوَى قرابة يَحجبُ
الأضعَف مِنْهُ
“kekerabatan yang lebih kuat menghalangi
kekerabatan yang lebih lemah”
Contohnya, saudara laki-laki seibu sebapak menghalangi
saudara laki-laki sebapak dalam mendapatkan warisan. Artinya, apabila ahli
waris terdiri dari saudara laki-laki seibu sebapak dan saudara laki-laki
sebapak, maka yang mendapat harta warisan hanya saudara laki-laki seibu
sebapak, karena kekerabatannya labih kuat yaitu melalui garis ibu dan bapak.
Sedangkan saudara laki-laki sebapak kekerabatannya lebih lemah karena hanya
melalui garis bapak.
Kaidah tersebut hanya berlaku bila derajat kekerabatannya
sama. Dalam contoh diatas, sama-sama saudara dari orang yang meninggal dan
hanya diterapkan dalam kasus asabah.
12.
لاتركة إلّا بَعدَ سدَادِ
الدّيْنِ
“tidak ada harta peninggalan kecuali setelah
dibayar lunas utang (orang yang meninggal)”.
Artinya, sebelum utang-utang orang yang
meninggal, wasiat dan pengurusan jenazah belum dibayar lunas, maka tidak ada
harta warisan.[9]
Seperti diketahui bahwa dalam hukum waris islam, harta peninggalan tidak dibagi
dahulu sebelum diambil pembiayaan kematian kemudian untuk utang. Kalau masih
ada sisanyadipotong lagi untuk wasiat maksimal sepertiga. Sisanya dibagi
diantara para ahli waris sesuai dengan ketentuan hukum waris islam. Kaidah
diatas dipertegas lagi dengan kaidah:
لَامِلكِيَة للوَرَثةِ إلّا
بعْدَ سدَادِ الدّيْنِ
“tidak ada hak kepemilikan harta ahli waris
kecuali setelah dilunasinya utang”
13.
لَا يَصِحّ الوَصيّة بكُلِّ
المَالِ
“tidak ada sah wasiat dengan kedudukan
keseluruhan harta”
Dhabith ini kemudian diperjelas oleh hadis
nabi yang menyebutkan maksimal wasiat adalahsepertiga dari harta warisan dan
sepertiga itu sudah banyak.
14.
كُلّ مَنْ ماتَ مِن
المُسلمِيْن لَا وارِث لَهُ فمَالُهُ لِبَيْتِ المَالِ
“setiap orang islam yang meninggal tanpa
meninggalkan ahli waris, maka hartanya diserahkankepada bait al-mal”
Menurut mazhab imam syafi’i, seandainya
seseorang sama sekali tidak mempunyai ahli waris, maka hartanya diserahkan
kepada baitul mal.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Al-Ahwal Al-Syakhsiyah atau hukum keluarga adalah hukum
yang telah dilaksanakan di dunia islam, bahkan telah menjadi hukum adat mereka.
Pokok kajian kaidah-kaidah fikih yang khusus meliputi: bidang ibadah mahdah,
bidang al-ahwal al-syakhsiyah, bidang muamalah, bidang jinayah, dan bidang
al-aqdiyah.
Dalam hukum islam, hukum keluarga atau
al-ahwal al-syakhsiyah ini meliputi: pernikahan, waris, wasiat, wakaf dzurri
(keluarga). Adapun Kaidah-kaidah yang khusus dibidang al-ahwal al-syakhsiyah
adalah:
الأَصْلُ في الإَبْضَاعِ
التّحْريمُ
“hukum asal pada masalah seks adalah haram”
لاَحَقَّ للزَّوْجَ عَلَى
زَوجَتِهِ إلاّ فِي حُدوْدِ يَمْسِى للزّوَاجِ وَلاَ حَقّ للزّوْجَةِ عَلَى
زَوْجِهَا إلاّ فِي حُدُوْدِ أَوَامِرِ الشّرعِ فِيْمَا يَمْسِى الزّوَاجِ
“tidak ada hak bagi suami
terhadap istrinya kecuali dalam batas-batas pernikahan dan tidak adahak bagi
istri terhadap suaminya kecuali dalam batas-batas syariah yang berhubungan
denganpernikahan”
كُلّ امْرَأتَيْنِ
لَوْقُدِّرَتْ إحْدَا هُمَا ذَكَرًا وَحُرِّمَتْ عَلَيهِ الأُخْرَى فَلاَ يَجُوزُ
الجَمْعُ بَيْنَهُمَا
“setiap dua orang wanita apabia salah satunya
ditakdirkan (dianggap) sebagai laki-laki dandiharamkan untuk nikah diantara
keduanya, maka kedua wanita haram dimadu”
كُلّ عُضْوٍ حَرّمَ
النّظْرَ إلَيْهِ حرّمَ مَسّهُ بِطَرِيْقً أَوْلَى
“setiap anggota tubuh
yang haram dilihat, maka lebih-lebih haram pula dirabanya”
لاَيُجَوِّزُ مُسْلِمُ
كَافِرَةً
“wali yang muslim tidak boleh menikahkan
wanita yang kafir”
مَنْ علَقَ الطَلَاقَ بصفةِ
لمْ يَقَع دُ وْنَ وجُوْدهَا
“barang siapa yang
menggantungkan talak kepada suatu sifat, maka talak tidak jatuh
tanpaterwujudnya sifat tadi”
كُلّ فِرقَةٍ مِنْ طَلَاقٍ
أوْ فَسْخٍ بَعْدَ الوَطءِ توْجَبُ العِدّةُ
“setiap perceraian kerena talak atau fasakh sesudah campur, maka wajib iddah”
كُلّ مَنْ عَدْ لَى إلَى الهَالَكَ
بوَسِطَةٍ فلَا يَرِث بوجوْدِهَا
“setiap orang yang
dihubungkan kepada yang meninggal melalui perantaraan, maka dia tidakmewarisi
selama perantara itu ada”
كُلّ منْ ورثَ شيْئا
وَرَثهُ بِحُقوْقِهِ
“setiap orang yang mewarisi sesuatu, mkaa dia mewarisi pula hak-haknya (yang
bersifat harta)”
أنّ الأقوَى قرابة يَحجبُ
الأضعَف مِنْهُ
“kekerabatan yang lebih kuat menghalangi
kekerabatan yang lebih lemah”
لاتركة إلّا بَعدَ سدَادِ
الدّيْنِ
“tidak ada harta peninggalan kecuali setelah
dibayar lunas utang (orang yang meninggal)”.
لَا يَصِحّ الوَصيّة بكُلِّ
المَالِ
“tidak ada sah wasiat dengan kedudukan
keseluruhan harta”
كُلّ مَنْ ماتَ مِن
المُسلمِيْن لَا وارِث لَهُ فمَالُهُ لِبَيْتِ المَالِ
“setiap orang islam yang meninggal tanpa
meninggalkan ahli waris, maka hartanya diserahkankepada bait al-mal”
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Moch. dkk, Terjemah kitab Fathul Mu’in jilid 2, (Bandung:
sinar Baru Algensindo Bandung, 2009.
As’ad, Aliy,Terjemah kitab Fathul Mu’in jilid 3, yogyakarta: MENARA
KUDUS, 1979.
Djazuli, ILMU FIQIH penggalian, perkembangan, dan penerapan Hukum Islam,
(Jakarta: kencana, 2006).
Djazuli, kaidah-kaidah fikih Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam
menyelesaikan masalah-masalah yang praktis, (Jakarta: Kencana, 2010).
Musyawarah Guru Bina PAI Madrasah Aliyah, modul HIKMAH membina
kreatifitas dan prestasi, (Sragen: AKIK PUSTAKA, TT).
[1]Djazuli, ILMU FIQIH penggalian, perkembangan,
dan penerapan Hukum Islam, (Jakarta: kencana, 2006), hlm. 169
[2]Djazuli, kaidah-kaidah fikih Kaidah-kaidah
Hukum Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah yang praktis, (Jakarta:
Kencana, 2010), hlm. 113
[3]Djazuli, ILMU FIQIH penggalian, perkembangan...
hlm. 48-49
[4]Djazuli, kaidah-kaidah fikih Kaidah-kaidah
Hukum Islam dalam... hlm. 122
[5]Moch. Anwar,dkk, terjemah kitab Fathul Mu’in
jilid 2, (Bandung: sinar Baru Algensindo Bandung, 2009), hlm. 1285
[6]Aliy As’ad, terjemah kitab Fathul Mu’in jilid
3, (yogyakarta: MENARA KUDUS, 1979), hlm. 226
[7]Moch. Anwar,dkk, terjemah kitab Fathul Mu’in
jilid 2... hlm. 1347
[8]Musyawarah Guru Bina PAI Madrasah Aliyah, modul
HIKMAH membina kreatifitas dan prestasi, (Sragen: AKIK PUSTAKA, TT), hlm.
18
[9]http://013-waris-sarwat-1
Gaenak dibaca
BalasHapus