Selasa, 26 Juni 2012

Kaidah-Kaidah AL-AHWAL AL-SYAKHSIYAH


BAB I
PENDAHULUAN

Al-Ahwal Al-Syakhsiyah atau hukum keluarga adalah hukum yang telah dilaksanakan di dunia islam, bahkan telah menjadi hukum adat mereka. Sehingga kesadaran untuk menerapkan hukum keluarga di dunia islam sangatlah tinggi, bukan saja dinegara-negara islam atau negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama islam, tetapi di negara-negara sekuler di mana kaum muslimin menjadi penduduk yang minoritas pun, hukum keluarga islam ini diterapkan dan ditaati oleh keluarga-keluarga muslim, seperti di Birma, Singapura, dan Filipina Selatan (Mindanau).[1]
Pentaqninnan dibidang hukum keluarga ini merupakan contoh dimana pengaruh hukum barat terhadap materi hukum islam relatif kecil bahkan tidak ada, dan merupakan benteng terakhir didalam mempertahankan diri terhadap pengaruh hukum barat yang diterapkan pemerintah kolonial di dunia islam yang merupakan daerah jajahannya. Di sisi lain hukum bidang keluarga ini diperkenalkan oleh para ulama kepada masyarakat melalui dakwahnya dan sekaligus memberikan contoh pelaksanaannya didalam kehidupan sehari-hari. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menjadikan hukum islam dibidang hukum keluarga ini menjadi hukum adatnya, karena para da’i dan contoh kehidupan serta lembaga-lembaga pendidikan merujuk kepada mazhab tertentu, maka wajar apabila dibanyak negara warna mazhab masih tampak didalam undang-undang hukum perkawinannya.
                       
                                               

BAB II
PEMBAHASAN

A.    POKOK KAJIAN BIDANG AL-AHWAL AL-SYAKHSIYAH
Banyak kaidah fikih yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan isi kandungannya lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku dalam cabang-cabang fikih tertentu, dan disebut Al-Qowa’id Al-Fiqhiyah Al-Khashshahatau juga disebut Al-Dhabitholeh sebagian ulama.[2] Kemudian dalam pembidangannya pun berbeda, ada yang membidangkan kepada empat bidang saja, yaitu bidang ibadah, bidang jual beli, bidang pengakuan, dan bidang munakahat. Tetapi ada juga yang membaginya kepada: bidang ibadah mahdah, bidang al-ahwal al-syakhsiyah, bidang muamalah, bidang jinayah, dan bidang al-aqdiyah.
Pembidangan ini pun bisa dikembangkan lagi sesuai dengan perkembangan ilmu hukum islam dan sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Kaidah yang khusus di bidang al-ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga) menjadi penting karena perhatian sumber hukum islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits kepada masalah-masalah keluarga sangat besar. Hal ini terbukti jumlah ayat yang berhubungan dengan hukum keluarga menempati urutan kedua setelah ibadah mahdhah. Artinya, Al-Qur’an dan Al-Hadits setelah memberi tuntunan yang cukup untuk pembinaan pribadi muslim dengan ajaran ibadah mahdhah, kemudian beralih kepada pembinaan kehidupan keluarga muslim yang menjadi unsur terkecil daam pembinaan masyarakat dan komunitas muslim.Dalam hukum islam, hukum ini meliputi: pernikahan, waris, wasiat, wakaf dzurri (keluarga).Adapun pengertian dari masing-masing sub bahasan adalah sebagai berikut:
a.       Pernikahan adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menetapkan hak-hak dan kewajiban diantara keduanya
b.      Mawaris mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban ahli waris terhadap harta warisan, menentukan siapa saja yang berhak menerima warisan, bagaimana cara pembagiannya masing-masing. Fikih mawaris disebut juga ilmu faraidh, karena berbicara bagian-bagian tertentu yang menjadi hak ahli waris.
c.       Wasiat adalah pesan seseorang terhadap sebagian hartanya yang diberikan kepada orang lain atau lembaga tertentu, sedangkan pelaksanaannya ditangguhkan setelah ia meninggal dunia.
d.      Wakaf adalah penyisihan sebagaian harta benda yang kekal zatnya dan mungkin diambil manfaatnya untuk maksud kebaikan. Dalam kitab fikih dikenal adanya wakaf dzurri yaitu wakaf untuk keluarga, dan wakaf khairi yaitu wakaf untuk kepentingan umum.[3]

B.     KAIDAH-KAIDAH YANG KHUSUS DIBIDANG AL-AHWAL AL-SYAKHSIYAH
Adapun Kaidah-kaidah yang khusus dibidang al-ahwal al-syakhsiyahadalah:
1.
الأَصْلُ في الإَبْضَاعِ التّحْريمُ
“hukum asal pada masalah seks adalah haram”
Maksud kaidah ini adalah dalam hubungan seks, pada asalnya haram sampai datang sebab-sebab yang jelas dan tanpa meragukan lagi yang menghalalkannya, yaitu dengan adanya akad pernikahan.[4]
Apabila seorang laki-laki diberi tahu bahwa dia sepersusuan dengan keluarga B, maka dia tidak boleh nikah dengan yang sepersusuan dari keluarga B, kecuali ada bukti yang meyakinkan bahwa dia tidak sepersusuan dengan keluarga B lagi.
2.
لاَحَقَّ للزَّوْجَ عَلَى زَوجَتِهِ إلاّ فِي حُدوْدِ يَمْسِى للزّوَاجِ وَلاَ حَقّ للزّوْجَةِ عَلَى زَوْجِهَا إلاّ فِي حُدُوْدِ أَوَامِرِ الشّرعِ فِيْمَا يَمْسِى الزّوَاجِ
“tidak ada hak bagi suami terhadap istrinya kecuali dalam batas-batas pernikahan dan tidak adahak bagi istri terhadap suaminya kecuali dalam batas-batas syariah yang berhubungan denganpernikahan”
Kaidah diatas menggambarkan kedudukan yang seimbang antara suami dan istri yang sama sebagai subjek hukum yang penuh. Apabila suami memberikan sesuatu sebagai hibah kepada istrinya atau istri memberikan sesuatu kepada suaminya, maka seorang pun tidak bisa mencampurinya. Masing-masing pihak, suami atau istri tidak boleh menarik kembali hibahnya setelah penyerahan atau ijab kabul terjadi.
3.
كُلّ امْرَأتَيْنِ لَوْقُدِّرَتْ إحْدَا هُمَا ذَكَرًا وَحُرِّمَتْ عَلَيهِ الأُخْرَى فَلاَ يَجُوزُ الجَمْعُ بَيْنَهُمَا
“setiap dua orang wanita apabia salah satunya ditakdirkan (dianggap) sebagai laki-laki dandiharamkan untuk nikah diantara keduanya, maka kedua wanita haram dimadu”
Contohnya, haram memadu seorang wanita dengan bibinya, karena apabila bibi itu kita anggap laki-laki, maka haram dia menikahi keponakannya. Demikian pula memadu seorang wanita dengan anak perempuan saudara wanita tersebut. Haram pula memadu seorang wanita dengan perempuan dari anaknya. Haram memadu seorang perempuan dengan saudaranya, karena apabila salah seorangnya dianggap laki-laki, dia diharamkan nikah dengan saudaranya.
4.
النِّكَاحُ لاَ يُفْسِدُ بِفَسَادِ الصدَاقِ
“akad nikah tidak rusak dengan rusaknya mahar”
Dalamkitabfathul mu’in dijelaskan bahwa:
(ولو أنكحَ)الوليّ (صَغيْرَةً) أوْ مَجْنوْنة (أوْرَشِيْدَةً بِكرًا بِلَا إذْنٍ بدوْن مهْرٍ مِثلٍ أو عيّنَتْ لهُ قدْرًا  فنقَصَ عنه) أوْ أطْلقتِ الْاِذن ولمْ تتعرّضْ لمهرٍ فنقصَ عن مهرٍ مثْلٍ (صحّ) النّكاحُ على الْاَصحِّ (بمهرِ مثلٍ) لفساد الْامسمّى
Apabila seorang wali menikahkan anak perwaliannya dengan mahar dibawah mahar mitsil, atau anak perwaliannya menentukan besar jumlah mahar tetapi saat ia dinikahkan, tidak sesuai dengan jumlah mahar yang telah ditentukan atau dibawah mahar mitsil, atau anak perwaliannya tadi telah memberikan izin tetapi tidak menyatakan besarnya mahar lalu ia dinikahkan dengan mahar dibawah mahar mitsil, maka menurut pendapat yang lebih sahih adalah sah nikah dengan mahar mitsil, karena mahar-mahar yang disebutkan wali tadi menjadi fasid.[5]
Contohnya, apabila seseorang mewakilkan dalam akad nikah dengan menyebut maharnya kemudian si wakil menambah mahar tadi, misalnya dari 10 gram emas menjadi 15 gram emas, maka nikahnya tetap sah dan kepada wanita tadi diberikan mahar mitsil.

5.
كُلّ عُضْوٍ حَرّمَ النّظْرَ إلَيْهِ حرّمَ مَسّهُ بِطَرِيْقً أَوْلَى
“setiap anggota tubuh yang haram dilihat, maka lebih-lebih haram pula dirabanya”

6.
لاَيُجَوِّزُ مُسْلِمُ كَافِرَةً
“wali yang muslim tidak boleh menikahkan wanita yang kafir”
Contohnya, seorang ayah yang muslim memiliki anak yang beragama kafir, maka ia tidak boleh atau tidak sah menjadi ali anaknya yang kafir tadi. Wanita yang kafir tidak memiliki wali nasab.
Dalam hukum keluarga terdapat banyak dhabith selain kaidah, karena hanya berlaku dalam bab-bab tertentu, misalnya dalam hal talak, ada dhabith:
7.
مَنْ علَقَ الطَلَاقَ بصفةِ لمْ يَقَع دُ وْنَ وجُوْدهَا
“barang siapa yang menggantungkan talak kepada suatu sifat, maka talak tidak jatuh tanpaterwujudnya sifat tadi”
Di Indonesia sudahumummenggantungkantalakkepadasesuatuhal, yaitu yang disebutdengan ta’liq talak. Talak menjadi jatuh apabila ta’liq talaknya terwujud dengan syarat si istri tidak rela dan mengajukan gugatan ke pengadilan.
Pengarang Syarh Al-Thahrir, merumuskan kaidah tersebut dengan:
مَنْ عَلّقَ طَلَاقًا بِصفَةٍ وَقَعَ بِوجُودِهَا
“Barang siapa menggantungkan talak dengan satu sifat, maka talak jatuh dengan wujudnya sifattersebut”

8.
كُلّ فِرقَةٍ مِنْ طَلَاقٍ أوْ فَسْخٍ بَعْدَ الوَطءِ توْجَبُ العِدّةُ
“setiap perceraian kerena talak atau fasakh sesudah campur, maka wajib iddah”
Dalam kitab fathul Mu’in dijelaskan bahwa:
و شرعَ دفعًا لِضرَرِ الْمرأةِ
Fasakhnikah (membatalkannikah) disyariatkanuntukmelindungiistri agar tidaktertimpamudarat.
يجوز (لزوجةٍ مكلّفةٍ) أي بالغةٍ عاقِلةٍ لالوليّ غيْرِ مكلّفةٍ (فسْخُ نِكاحٍ مَنْ) أيّ زوْجٍ (أعسر) مالًا وكسبًا لَائقًا به حلَالَا (بئاقلِّ نفقةٍ) تجبُ, وهومدّ (أو) أقلّ (كِسوَةٍ) تجب كقمِيصٍ وخِمارٍ وجُبّةٍ شِتاءٍ, بخلَافِ نحوِسراوِيْلَ ونَعْلٍ وفرْشٍ ومِخَدّةٍ والأَوانى لعَدَمِ بقَاءِ النّفْسِ بدو نهِمَا
Seorang istri yang telah mukallaf, yakni telah berusia baligh lagi berakal, bukan bagi wali istri yang belum mukallaf, diperbolehkan memfasakh nikah dari suaminya yang mengalami kesulitan harta dan pekerjaan halal yang layak baginya.
Dikatakan demikian karena suami tidak mampu memberikan nafkah yang minimal, yaitu satu mud makanan pokok, atau tidak mampu memberikan batas minimal sandang yang diwajibkan. Umpamanya si suami tidak mampu memberinya baju gamis, kain kerudung, dan mantel untuk musim dingin. Lain halnya dengan tidak mampu memberikan semacam celana, sandal, kasur dan bantal serta wadah-wadah, karena termasuk kebutuhan sekunder. Sedangkan kedua hal pertama-yakni makanan pokok dan sandang yang pokok-adalah kebutuhan yang primer.[6]
وهو لغةً حَلّ القيْدِ وشَرعًا حلّ عقْدِ النّكَاحَ باللّفظِ الْآتى
Sedangkan talak menurut bahasa artinya “melepaskan ikatan”,sedangkan menurut istilah syara’ artinya “melepaskan ikatan nikah dengan lafad yang akan disebut kemudian”.[7]
Sama seperti perceraian, ketika fasakh nikah sesudah campur maka wanita tersebut wajib beriddah. Sudah tentu waktu menunggunya bermacam-macam menurut perbedaan keadaan istri yang diceraikan atau yang ditinggal mati suaminya. Secara garis besar iddah itu ada lima macam yakni:[8]
a.       Iddah istri yang dicerai dania masih suka haid lamanya tiga kali suci.
Allah swt berfirman:
والمُطَلّقت يَترَبّصن بئانفسهِنّ ثلثة قرُوءٍ
Artinya: “wanita-wanita yang telahdicerai, hendaklahmenahandiri (menunggu) tiga kali quru(al-baqarah: 228).
b.      Iddah yang dicerai dan ia sudah tidak haid lama iddahnya adalah tiga bulan.
والّئِ يَئِسْنَ منَ المَحِيْضِ منْ نّسائِكُمْ إنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدّتُهُنّ ثلثة أشْهُرٍ والّئِ لمْ يحضْنَ
Artinya: “perempuan-perempuan yangsudah berhenti haid jika kamu ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan. Begitu pula perempuan-perempuan yang belum haid” (at-thalaq: 4)
Perempuan yang tidak haid ini ada tiga macam yaitu anak kecil yang belum sampai umur, prempuan dewasa tapi memang tidak mempunyai darah haid karena suatu kelainan dan perempuan yang sudah tua, sudah berhenti haid yang dalam istilah kedokteran disebut manopouse.
c.       Iddah istri yang ditinggal wafat suami. Lama iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari bila ia tidak hamil.
والذين يُتوفّوْنَ منكم ويذروْنَ أزْوجًا يتربّصْنَ بئانفسهنّ أرْبعة أشهُرٍ وعشرًا
Artinya: “orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan istri-istri hendaknya para istri itu menunggu empat bulan sepuluh hari” (al-baqarah: 234)
d.      Iddah istri yang dicerai dalam keadaan hamil lamanya sampai melahirkan kandungannya
وأُلتُ الأحْملِ أجلُهُنّ أنْ يضعْن حمْلهنّ
Artinya: “perempuan-perempuan yang dicerai dalamkeadaan hamil wakti iddah mereka sampai mereka melahirkan” (at-thalaq: 40
e.       Iddah istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil
Menurut sebagian besar ulama iddah istri yang ditinggal mati suaminya dan ia dalam keadaan hamil adalah iddah hamil yaitu sampai melahirkan walaupun kurang dari empat bulan.
9.
كُلّ مَنْ عَدْ لَى إلَى الهَالَكَ بوَسِطَةٍ فلَا يَرِث بوجوْدِهَا
“setiap orang yang dihubungkan kepada yang meninggal melalui perantaraan, maka dia tidakmewarisi selama perantara itu ada”
Contohnya antara kakek dan bapak. Kakek tidak dapat waris selama bapak orang yang meninggal masih ada, karena kakek dihubungkan dengan orang yang meninggal melalui bapak. Demikian pula anak laki-laki dengan cucu laki-laki. Cucu laki-laki tidak menjadi ahli waris selama ada anak laki-laki dari orang yang meninggal, karena cucu laki-laki dihubungkan dengan orang yang meninggal melalui anak laki-laki.
10.
كُلّ منْ ورثَ شيْئا وَرَثهُ بِحُقوْقِهِ
“setiap orang yang mewarisi sesuatu, maka dia mewarisi pula hak-haknya (yang bersifat harta)”
Contohnya, hak khiyar terhadap barang, karena hak khiyar tetap ada dalam jual beli. Demikian pula hak terhadap utang atau gadai atau juga hak cipta yang diwariskan. Kedudukan ahli waris dalam hal ini menduduki kedudukan orang yang meninggal.
11.
أنّ الأقوَى قرابة يَحجبُ الأضعَف مِنْهُ
“kekerabatan yang lebih kuat menghalangi kekerabatan yang lebih lemah”
Contohnya, saudara laki-laki seibu sebapak menghalangi saudara laki-laki sebapak dalam mendapatkan warisan. Artinya, apabila ahli waris terdiri dari saudara laki-laki seibu sebapak dan saudara laki-laki sebapak, maka yang mendapat harta warisan hanya saudara laki-laki seibu sebapak, karena kekerabatannya labih kuat yaitu melalui garis ibu dan bapak. Sedangkan saudara laki-laki sebapak kekerabatannya lebih lemah karena hanya melalui garis bapak.
Kaidah tersebut hanya berlaku bila derajat kekerabatannya sama. Dalam contoh diatas, sama-sama saudara dari orang yang meninggal dan hanya diterapkan dalam kasus asabah.
12.
لاتركة إلّا بَعدَ سدَادِ الدّيْنِ
“tidak ada harta peninggalan kecuali setelah dibayar lunas utang (orang yang meninggal)”.
Artinya, sebelum utang-utang orang yang meninggal, wasiat dan pengurusan jenazah belum dibayar lunas, maka tidak ada harta warisan.[9] Seperti diketahui bahwa dalam hukum waris islam, harta peninggalan tidak dibagi dahulu sebelum diambil pembiayaan kematian kemudian untuk utang. Kalau masih ada sisanyadipotong lagi untuk wasiat maksimal sepertiga. Sisanya dibagi diantara para ahli waris sesuai dengan ketentuan hukum waris islam. Kaidah diatas dipertegas lagi dengan kaidah:
لَامِلكِيَة للوَرَثةِ إلّا بعْدَ سدَادِ الدّيْنِ
“tidak ada hak kepemilikan harta ahli waris kecuali setelah dilunasinya utang”
13.
لَا يَصِحّ الوَصيّة بكُلِّ المَالِ
“tidak ada sah wasiat dengan kedudukan keseluruhan harta”
Dhabith ini kemudian diperjelas oleh hadis nabi yang menyebutkan maksimal wasiat adalahsepertiga dari harta warisan dan sepertiga itu sudah banyak.
14.
كُلّ مَنْ ماتَ مِن المُسلمِيْن لَا وارِث لَهُ فمَالُهُ لِبَيْتِ المَالِ
“setiap orang islam yang meninggal tanpa meninggalkan ahli waris, maka hartanya diserahkankepada bait al-mal”
Menurut mazhab imam syafi’i, seandainya seseorang sama sekali tidak mempunyai ahli waris, maka hartanya diserahkan kepada baitul mal. 



BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Al-Ahwal Al-Syakhsiyah atau hukum keluarga adalah hukum yang telah dilaksanakan di dunia islam, bahkan telah menjadi hukum adat mereka. Pokok kajian kaidah-kaidah fikih yang khusus meliputi: bidang ibadah mahdah, bidang al-ahwal al-syakhsiyah, bidang muamalah, bidang jinayah, dan bidang al-aqdiyah.
Dalam hukum islam, hukum keluarga atau al-ahwal al-syakhsiyah ini meliputi: pernikahan, waris, wasiat, wakaf dzurri (keluarga). Adapun Kaidah-kaidah yang khusus dibidang al-ahwal al-syakhsiyah adalah:
الأَصْلُ في الإَبْضَاعِ التّحْريمُ
“hukum asal pada masalah seks adalah haram”
لاَحَقَّ للزَّوْجَ عَلَى زَوجَتِهِ إلاّ فِي حُدوْدِ يَمْسِى للزّوَاجِ وَلاَ حَقّ للزّوْجَةِ عَلَى زَوْجِهَا إلاّ فِي حُدُوْدِ أَوَامِرِ الشّرعِ فِيْمَا يَمْسِى الزّوَاجِ
“tidak ada hak bagi suami terhadap istrinya kecuali dalam batas-batas pernikahan dan tidak adahak bagi istri terhadap suaminya kecuali dalam batas-batas syariah yang berhubungan denganpernikahan”
كُلّ امْرَأتَيْنِ لَوْقُدِّرَتْ إحْدَا هُمَا ذَكَرًا وَحُرِّمَتْ عَلَيهِ الأُخْرَى فَلاَ يَجُوزُ الجَمْعُ بَيْنَهُمَا
“setiap dua orang wanita apabia salah satunya ditakdirkan (dianggap) sebagai laki-laki dandiharamkan untuk nikah diantara keduanya, maka kedua wanita haram dimadu”
كُلّ عُضْوٍ حَرّمَ النّظْرَ إلَيْهِ حرّمَ مَسّهُ بِطَرِيْقً أَوْلَى
“setiap anggota tubuh yang haram dilihat, maka lebih-lebih haram pula dirabanya”
لاَيُجَوِّزُ مُسْلِمُ كَافِرَةً
“wali yang muslim tidak boleh menikahkan wanita yang kafir”

مَنْ علَقَ الطَلَاقَ بصفةِ لمْ يَقَع دُ وْنَ وجُوْدهَا
“barang siapa yang menggantungkan talak kepada suatu sifat, maka talak tidak jatuh tanpaterwujudnya sifat tadi”

كُلّ فِرقَةٍ مِنْ طَلَاقٍ أوْ فَسْخٍ بَعْدَ الوَطءِ توْجَبُ العِدّةُ
“setiap perceraian kerena talak atau fasakh sesudah campur, maka wajib iddah”

كُلّ مَنْ عَدْ لَى إلَى الهَالَكَ بوَسِطَةٍ فلَا يَرِث بوجوْدِهَا
“setiap orang yang dihubungkan kepada yang meninggal melalui perantaraan, maka dia tidakmewarisi selama perantara itu ada”

كُلّ منْ ورثَ شيْئا وَرَثهُ بِحُقوْقِهِ
“setiap orang yang mewarisi sesuatu, mkaa dia mewarisi pula hak-haknya (yang bersifat harta)”

أنّ الأقوَى قرابة يَحجبُ الأضعَف مِنْهُ
“kekerabatan yang lebih kuat menghalangi kekerabatan yang lebih lemah”

لاتركة إلّا بَعدَ سدَادِ الدّيْنِ
“tidak ada harta peninggalan kecuali setelah dibayar lunas utang (orang yang meninggal)”.

لَا يَصِحّ الوَصيّة بكُلِّ المَالِ
“tidak ada sah wasiat dengan kedudukan keseluruhan harta”

كُلّ مَنْ ماتَ مِن المُسلمِيْن لَا وارِث لَهُ فمَالُهُ لِبَيْتِ المَالِ
“setiap orang islam yang meninggal tanpa meninggalkan ahli waris, maka hartanya diserahkankepada bait al-mal”



 
DAFTAR PUSTAKA


Anwar, Moch. dkk, Terjemah kitab Fathul Mu’in jilid 2, (Bandung: sinar Baru Algensindo Bandung, 2009.
As’ad, Aliy,Terjemah kitab Fathul Mu’in jilid 3, yogyakarta: MENARA KUDUS, 1979.
Djazuli, ILMU FIQIH penggalian, perkembangan, dan penerapan Hukum Islam, (Jakarta: kencana, 2006).
Djazuli, kaidah-kaidah fikih Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah yang praktis, (Jakarta: Kencana, 2010).
Musyawarah Guru Bina PAI Madrasah Aliyah, modul HIKMAH membina kreatifitas dan prestasi, (Sragen: AKIK PUSTAKA, TT).


[1]Djazuli, ILMU FIQIH penggalian, perkembangan, dan penerapan Hukum Islam, (Jakarta: kencana, 2006), hlm. 169
[2]Djazuli, kaidah-kaidah fikih Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah yang praktis, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 113
[3]Djazuli, ILMU FIQIH penggalian, perkembangan... hlm. 48-49
[4]Djazuli, kaidah-kaidah fikih Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam... hlm. 122
[5]Moch. Anwar,dkk, terjemah kitab Fathul Mu’in jilid 2, (Bandung: sinar Baru Algensindo Bandung, 2009), hlm. 1285
[6]Aliy As’ad, terjemah kitab Fathul Mu’in jilid 3, (yogyakarta: MENARA KUDUS, 1979), hlm. 226
[7]Moch. Anwar,dkk, terjemah kitab Fathul Mu’in jilid 2... hlm. 1347
[8]Musyawarah Guru Bina PAI Madrasah Aliyah, modul HIKMAH membina kreatifitas dan prestasi, (Sragen: AKIK PUSTAKA, TT), hlm. 18
[9]http://013-waris-sarwat-1

1 komentar:

Tinggalkan komentar dan saran-saran yang membangun.
untuk menjadi bahan pembelajaran lebih baik.