Ku dengarkan begitu kerang ujung-ujung tuturmu
Lewat angi lewat jendela hati yang telah kau
kunci
Dan emosi yang kau jaga
Bertalu menumbuk dan tertumbuk
Hujan tak lagi terasa
Badai sayang pun tak bergeming
Dalam samudra yang mati
Ku dengarkan jeritan inginmu
Ketika panas mentari telah memenuhi hati yang
kau sebut semangat
Perhatian
Untuk menciptakan simpul-simpul baru
Yang kau sebut sayang
Benarkah akan seperti itu?
Saat kata tak lagi menjadi kata
Saat rasa tak berwujud rasa
Menjadi asa yang tak berujung
Emosi yang tak terbendung
Apakah itu hajatmu yang kosong?
Atau kau isi apa?
Apabilakah dalam semburat cahaya itu
Tak kau rasakan artinya
Aku tak lagi seperti dahulu yang tak punya sendi
dan nadi
Sendi-sendi ini dibangun dengan sayang
Bukan dengan kekerasan
Nadipun begitu
Hanyalah diam yang kau berikan
Menyayat-nyayat diri sendiri
Tak terdengar lagi sayup-sayup dedaunan
Telah luntur embun-embun itu dari ujungnya
Apakah artinya itu?
Kau jatuhkan rasa sayang itu
Dari mahkotanya dan mahligainya
Terjatuh ke tanah berpasir
Kau injak pula dengan sepatu bergerigi
Yang bertuliskan pemberontakan
Untuk apa kau tahankan layunya yang telah berkabut
Engkau adalah pembentuknya
Dengan undang-undang “Ya”
Kau hadapkan pada hari-hari sumpeg
Dan keinginan memerintahmu untuk mendapatkannya
Membela angan yang tak terfikirkan
Ketika kau pangkukan
Kau tahan
Lindungi keinginan hidup
Menindas rasa ini
Pribumi lemah yang tak punya darah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan komentar dan saran-saran yang membangun.
untuk menjadi bahan pembelajaran lebih baik.